Sudah ada banyak sekali perhatian yang ditujukan terhadap proyek-proyek pembangunan dan perkembangan tanah di pulau dewata Bali. Dan kebanyakan dari perhatian ini terdiri dari perspektif yang menentang perkembangan Bali yang nampaknya semakin menuju ke arah yang berlawanan dengan tradisi dan kultur Bali yang “asli”, untuk semakin menggoda turis untuk datang dan menghamburkan uang asing mereka di Indonesia. Dan pastinya, ini merupakan suatu persoalan yang serius yang perlu disadari kepentingannya. Benar juga bahwa jika tidak diatur dengan kesadaran swasta dan rakyat, permasalahan pengambangan Bali dapat benar-benar mengancam masa depan pulau ini dan budayanya yang dianggap unik dan eksentrik.
Seorang environmentalist dan penulis Norwegia, Arlid Molstad menerbitkan sebuah buku berjudul Where do We Go Before It’s Too Late: Two Faces of Tourism, dan ada satu bagian yang menggunakan Pulau Bali sebagai sebuah kasus. Dalam bab ini, dia menulis bahwa dalam masa-masa globalisasi yang diperkuat dengan keluar masuknya turis dari berbagai macam negara, budaya tradisional Bali secara relatif tertopang dengan baik sekali oleh populasi lokalnya. Kita mengerti bahwa satu faktor terbesar dalam industri turisme Bali adalah budayanya yang unik, yang tidak belum tentu berarti gaya hidup yang menarik; dan budaya ini perlu diawetkan… tapi bagaimana caranya?
Pertama-tama, perlu disadari bahwa budaya Bali sebenarnya adalah sebuah budaya yang terhasil dari percampuran berbagai budaya tamu-tamunya, termasuk orang-orang Tiongkok, India, Timur-Tengah, dan bahkan Eropa. Artinya, setiap pendapat orang-orang yang hidup di atau mengunjungi Bali sama saja sahnya; tapi, masih tidak ada satu solusi yang benar.
Sekarang coba kita lihat berbagai segi dan fakta dari topik ini. Biarpun beberapa segi-segi ini tidak pasti menyenangkan kalian semua, mereka harusnya membuka beberapa permasalahan yang dapat di temui dengan sifat yang bermanfaat di masa depan.
Tanah banyak yang dibeli dengan cepat untuk dikembangkan. Orang-orang Bali mengeluh bahwa tidak lama lagi, bisa-bisa mereka kehabisan wilayah di tanah air mereka sendiri, dan ini membuat leluhur mereka gelisah.
Tapi, kalau dilihat benar-benar sejarahnya, orang-orang Bali ini sebenarnya kebanyakan terdiri dari rakyat kerajaan Majapahit Jawa yang datang lebih dari tiga abad yang lalu! Lagi pula, caranya mereka mengambil wilayah di Bali dari orang-orang Bali di masa itu – Bali Aga – adalah dengan kekerasan, sampai orang Bali Aga terdorong ke daerah pegunungan. Tambah lagi, orang-orang Bali Aga aslinya datang dari Taiwan – jadi apa benar ada rakyat Bali yang “asli”? Paling nggak, perkembangan “asing” jaman sekarang bermanfaat positif bagi ekonomi Bali.
Lalu bagaimana dengan orang-orang bule aga, expat yang sudah menetap di Bali selama puluhan tahun, yang keluhannya sama saja dan bilang bahwa kita harus kurangi jumlah imigran di Bali?
Gemana kalau mereka sendiri yang pindah? Tidak adil dong, kalau mereka mau main monopoli dengan wilayah yang mereka sendiri datangi, dan maunya memaksa orang-orang lain yang sebenarnya sama saja dengan mereka untuk diam diluar.
Intinya, semua perkembangan dan perubahan di Bali sudah berlaku selama berabad-abad. Bedanya hanyalah bahwa perubahan ini sekarang berlangsung dengan jauh lebih cepat, karena teknologi kita yang lebih maju hari ini.
Ekonomi provinsi Bali sekitar 82% didorong oleh turisme dan perkembangan tanah dan properti. Biarpun dengan itu, perkembangan ekonomi Bali masih saja lebih lambat dari kebanyakan provinsi Indonesia yang lain. Kalau Bali dipaksa berhenti mengembangkan industri turisme dan propertinya, bagaimana bias Bali berkembang?
Budaya Bali sekarang biasanya dihubungkan dengan gaya hidup pertanian yang melekat dengan filosofi Tri Hita Karana. Saya setuju, ini perlu diawetkan, tapi bukan berarti orang Bali harus seumur hidupnya bertani dengan metode tradisional. Bukan berarti budaya Bali tidak bias berkembang dan berubah untuk menyesuaikan rakyatnya dengan dunia yang lebih lebar.
Faktanya adalah, industri turisme Bali terus berkembang tiap tahun. Tahun lalu, jumlah orang luar negeri yang datang ke Bali berkembang dari 3 juta ke 3.2 juta, dan turis Indonesia berkembang dari 6 ke 7 juta. Kalau dihitung-hitung, ambillah 1.2 juta tambahan ini, bilang tiap orang menetap berdua masing-masing, selama empat malam. Dibagi dengan jumlah kamar hotel rata-rata di Bali, 250, artinya Bali perlu 30 hotel baru untuk mengikuti keperluannya.
Banyak yang bilang bahwa permasalahan ini banyak sangkutannya dengan pemerintahan yang korup. Sampai tingkat yang tertentu, ini benar; tapi, belakangan ini, lebih banyak lagi sangkutannya dengan investor lokal dan juga internasional yang korup. Mereka adalah pembangun yang tidak mau mengikuti peraturan, hukum, dan regulasi yang sudah ditetapkan. Menurutku, pemerintahan Bali, dan Indonesia secara keseluruhan, berjalan ke arah yang lebih baik dengan cepat.
Jadi apa solusinya untuk masalah ini? Pertama-tama, perlu diprioritaskan perkembangan infrastruktur dan sistem pembuangan limbah. Habis itu, baru kita bisa menentukan solusi jangka panjang dengan kesadaran bahwa modernisasi di Bali tidak bisa dihentikan – kita Cuma bisa menentukan arah perkembangannya. Perkembangan Bali perlu ditujui ke arah yang lebih ramah terhadap lingkungan, direncanakan dengan lebih baik, dan menarik turis-turis yang lebih berkelas. Kalau kita bisa mengembangkan ekonomi dan budaya Bali dengan bertanggung jawab, di masa kapanpu juga, Bali akan masih menjadi sebuah tujuan yang ajaib yang pastinya menjadi tidak terlupakan bagi para pengunjung.
Translated from an original post by Terje H.Nilsen by Adam Handoko